BERITA MALUKU. Antropolog asal Jerman, Profesor Dieter Bartels mengatakan masyarakat di Maluku Tengah (Malteng) sudah menganut sistem kekerabatan pela antardesa/antarnegeri jauh sebelum bangsa Eropa datang ke Kepulauan Maluku untuk mencari cengkih dan pala.
"Sistem kekerabatan pela dibuat antara dua desa atau lebih, dalam beberapa kasus yang jarang antara suku/marga dari negeri-negeri yang berbeda," katanya di Ambon, Rabu (23/8/2017).
Prof Dieter Bartels mengatakan hal itu pada peluncuran bukunya yang berjudul "Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku, Muslim-Kristen Hidup Berdampingan Di Maluku Tengah", bertempat di Ruang Rektorat Universitas Pattimura (Unpatti).
Peluncuran dua jilid buku tersebut dihadiri oleh Pangdam XVI/Pattimura Mayjen TNI Doni Monardo bersama sejumlah staf, Rektor Unpatti Prof M.J Sapteno, para dosen dan sejumlah mahasiswa.
Hadir juga tiga orang penanggap buku tersebut, masing-masing Prof Dr Hermien Soselisa dari Unpatti, Pdt Dr John Ruhulessin dari Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Dr Abidin Wakono dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon dan Dr Steve Gaspersz dari Unpatti.
Dieter Bartels, Antropolog dari Yavapai College Arizona USA, sepanjang 40 tahun lebih telah mempelajari dan menulis sederet kajian perihal masyarakat Maluku baik di Indonesia maupun Negeri Belanda, menyingkap terutama hubungan-hubungan Muslim-Kristen Maluku.
Dia mengurai aneka mitos, stereotip, dan citra-citra sumir, sejarah sosial budaya Ambon dan Maluku Tengah yang dipaparkan dalam bukunya. Ia sejak 50 tahun silam sudah belajar tentang Maluku.
"Saya masuk ke Indonesia tahun 1964 dengan memegang visa dua minggu untuk tinggal, tetapi setiap dua minggu visa bisa diperpanjang, sehingga bisa tinggal sampai tiga bulan. Di Indonesia tidak tertarik mempelajari sejarah dan kebudayaan Jawa dan Bali, karena sudah banyak yang menulis dan sangat tertarik mempelajari Maluku," ujarnya.
Menurut Dieter Bartels, hampir semua aliansi pela berlangsung antara negeri-negeri Kristen maupun antara negeri-negeri Kristen dan Muslim, sehingga jangkauannya melampaui batas-batas agama.
"Pela sudah ada jauh sebelum bangsa Eropa menduduki tanah Maluku. Sistem ini kemungkinan dimulai sebagai suatu sistem kekerabatan dalam konteks pengayauan," katanya.
Ia menjelaskan pada abad ke-16 dan ke-17 sistem pela dimanfaatkan untuk menahan pengacau asing, dan untuk saling membantu, tetapi juga banyak pela baru yang timbul saat perjuangan berat melawan penjajahan Belanda.
Pela kemudian dimanfaatkan sebagai alat untuk memperoleh akses terhadap bahan pangan. Pela lalu menjadi identitas Maluku dalam melaksanan pembangunan lebih lanjut tanpa bantuan pemerintah.
Di dalam bukunya, Prof Bartels membagi pela dalam tiga tipe yakni pela keras, yang bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir atau bantuan luar biasa yang diberikan kepada negeri yang lain.
"Biasanya ikatan ini dilanjutkan dengan perjanjian berupa sumpah yang tidak boleh dilanggar oleh pengikutnya," ujarnya.
Selanjutnya pela gandong atau bongso ini dihubungkan dengan ikatan kekeluargaan sebagai yang berasal dari keturunan (leluhur) yang sama. Pakta perjanjiannya juga sama dengan pela keras.
Kemudian pela tempat sirih, lebih mengacu kepada upaya perdamaian akibat pertengkaran kecil tetapi juga dibuat untuk mendukung perdagangan.
Lebih lanjut, dia mengatakan konsep pela tersebut memberikan gambaran bahwa ikatan persaudaraan di Maluku sangat erat, sebab dalam konsep pela itu, ada empat ide utama yakni desa-desa dalam hubungan pela saling membantu saat krisis perang dan bencana alam.
Saling membantu dalam menyelesaikan proyek besar masyarakat, seperti membangun gereja atau masjid dan sekolah.
"Saat seseorang mengunjungi negeri pela lain, ia memiliki hak untuk mendapat makanan dan dibekali dengan makanan saat pulang. Semua anggota diperlakukan sebagai satu darah. Karena itu sangat dilarang untuk saling mengawini antarpela," ungkapnya.
Karena itu, pela menjadi etika bagi masyarakat Maluku dalam sistem kekerabatan tersebut. Sistem ini dilihat sebagai kekuatan pemersatu atas ancaman polarisasi agama yang begitu kuat.
Apalagi disadari bahwa polarisasi agama bisa memberikan efek terhadap kesatuan Salam-Sarane, disamping upaya-upaya sentralisasi politik dan penyeragaman kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Keresahan yang timbul di kalangan masyarakat bahwa ada ancaman ganda yaitu kehilangan identitas dan perpecahan sosial. Oleh karena itu dibangun jaringan yang erat menjangkau seluruh wilayah dan batas agama yang selama ini menjadi pendorong utama integrasi.
Pela, terkandung di dalamnya kepercayaan, menjadi sesuatu yang sakral dalam konteks masyarakat Ambon.
"Pela adalah suatu mata rantai penghubung yang kuat antara Salam-Sarane, yang setiap saat juga diuji secara berkala. Ujian itu berupa saling memberikan bantuan dan bantuan itu dilihat sebagai wujud komitmen untuk tetap menjaga persaudaraan, peningkatan ekonomi serta mengurangi potensi perpecahan sekecil mungkin," katanya.
"Sistem kekerabatan pela dibuat antara dua desa atau lebih, dalam beberapa kasus yang jarang antara suku/marga dari negeri-negeri yang berbeda," katanya di Ambon, Rabu (23/8/2017).
Prof Dieter Bartels mengatakan hal itu pada peluncuran bukunya yang berjudul "Di Bawah Naungan Gunung Nunusaku, Muslim-Kristen Hidup Berdampingan Di Maluku Tengah", bertempat di Ruang Rektorat Universitas Pattimura (Unpatti).
Peluncuran dua jilid buku tersebut dihadiri oleh Pangdam XVI/Pattimura Mayjen TNI Doni Monardo bersama sejumlah staf, Rektor Unpatti Prof M.J Sapteno, para dosen dan sejumlah mahasiswa.
Hadir juga tiga orang penanggap buku tersebut, masing-masing Prof Dr Hermien Soselisa dari Unpatti, Pdt Dr John Ruhulessin dari Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Dr Abidin Wakono dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ambon dan Dr Steve Gaspersz dari Unpatti.
Dieter Bartels, Antropolog dari Yavapai College Arizona USA, sepanjang 40 tahun lebih telah mempelajari dan menulis sederet kajian perihal masyarakat Maluku baik di Indonesia maupun Negeri Belanda, menyingkap terutama hubungan-hubungan Muslim-Kristen Maluku.
Dia mengurai aneka mitos, stereotip, dan citra-citra sumir, sejarah sosial budaya Ambon dan Maluku Tengah yang dipaparkan dalam bukunya. Ia sejak 50 tahun silam sudah belajar tentang Maluku.
"Saya masuk ke Indonesia tahun 1964 dengan memegang visa dua minggu untuk tinggal, tetapi setiap dua minggu visa bisa diperpanjang, sehingga bisa tinggal sampai tiga bulan. Di Indonesia tidak tertarik mempelajari sejarah dan kebudayaan Jawa dan Bali, karena sudah banyak yang menulis dan sangat tertarik mempelajari Maluku," ujarnya.
Menurut Dieter Bartels, hampir semua aliansi pela berlangsung antara negeri-negeri Kristen maupun antara negeri-negeri Kristen dan Muslim, sehingga jangkauannya melampaui batas-batas agama.
"Pela sudah ada jauh sebelum bangsa Eropa menduduki tanah Maluku. Sistem ini kemungkinan dimulai sebagai suatu sistem kekerabatan dalam konteks pengayauan," katanya.
Ia menjelaskan pada abad ke-16 dan ke-17 sistem pela dimanfaatkan untuk menahan pengacau asing, dan untuk saling membantu, tetapi juga banyak pela baru yang timbul saat perjuangan berat melawan penjajahan Belanda.
Pela kemudian dimanfaatkan sebagai alat untuk memperoleh akses terhadap bahan pangan. Pela lalu menjadi identitas Maluku dalam melaksanan pembangunan lebih lanjut tanpa bantuan pemerintah.
Di dalam bukunya, Prof Bartels membagi pela dalam tiga tipe yakni pela keras, yang bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir atau bantuan luar biasa yang diberikan kepada negeri yang lain.
"Biasanya ikatan ini dilanjutkan dengan perjanjian berupa sumpah yang tidak boleh dilanggar oleh pengikutnya," ujarnya.
Selanjutnya pela gandong atau bongso ini dihubungkan dengan ikatan kekeluargaan sebagai yang berasal dari keturunan (leluhur) yang sama. Pakta perjanjiannya juga sama dengan pela keras.
Kemudian pela tempat sirih, lebih mengacu kepada upaya perdamaian akibat pertengkaran kecil tetapi juga dibuat untuk mendukung perdagangan.
Lebih lanjut, dia mengatakan konsep pela tersebut memberikan gambaran bahwa ikatan persaudaraan di Maluku sangat erat, sebab dalam konsep pela itu, ada empat ide utama yakni desa-desa dalam hubungan pela saling membantu saat krisis perang dan bencana alam.
Saling membantu dalam menyelesaikan proyek besar masyarakat, seperti membangun gereja atau masjid dan sekolah.
"Saat seseorang mengunjungi negeri pela lain, ia memiliki hak untuk mendapat makanan dan dibekali dengan makanan saat pulang. Semua anggota diperlakukan sebagai satu darah. Karena itu sangat dilarang untuk saling mengawini antarpela," ungkapnya.
Karena itu, pela menjadi etika bagi masyarakat Maluku dalam sistem kekerabatan tersebut. Sistem ini dilihat sebagai kekuatan pemersatu atas ancaman polarisasi agama yang begitu kuat.
Apalagi disadari bahwa polarisasi agama bisa memberikan efek terhadap kesatuan Salam-Sarane, disamping upaya-upaya sentralisasi politik dan penyeragaman kebudayaan yang dilakukan oleh pemerintah.
Keresahan yang timbul di kalangan masyarakat bahwa ada ancaman ganda yaitu kehilangan identitas dan perpecahan sosial. Oleh karena itu dibangun jaringan yang erat menjangkau seluruh wilayah dan batas agama yang selama ini menjadi pendorong utama integrasi.
Pela, terkandung di dalamnya kepercayaan, menjadi sesuatu yang sakral dalam konteks masyarakat Ambon.
"Pela adalah suatu mata rantai penghubung yang kuat antara Salam-Sarane, yang setiap saat juga diuji secara berkala. Ujian itu berupa saling memberikan bantuan dan bantuan itu dilihat sebagai wujud komitmen untuk tetap menjaga persaudaraan, peningkatan ekonomi serta mengurangi potensi perpecahan sekecil mungkin," katanya.
No comments:
Post a Comment