Njio Tjoen Ean (foto geni.com) |
Da da da, dewi dewi, disko cha cha, bermain sepakbola, kapiten Cina oe oe! Diberi nama saudara-saudari, ing dada ing..dada ing...dada ing ing ing..
Ambon, Malukupost.com - Lirik dalam dolanan anak-anak di atas, terasa jenaka. Anak-anak Maluku gemar melagukannya saat bermain. Sekilas hanya bagai lirik penuntun gerak tangan.Meskipun cuma dolanan, selipan frasa ``Kapiten Cina oe oe``, tidak muncul begitu saja. Gubernur VOC Jan Pieterszoon Coen adalah pendiri lembaga Kapiten Cina di Batavia tahun 1619. Lembaga ini menyebar di berbagai kota, termasuk Ambon.
Kapiten Cina kedengaran seperti militer, namun sesungguhnya hanyalah institusi sipil yang didirikan untuk merangkul etnis Tionghoa. Jadi, tidak sama dengan tentara VOC atau KNIL. Walau sipil, mereka juga memiliki sistem kepangkatan layaknya militer.
Dari sekian banyak kapiten Tionghoa, salah satu nama yang tidak bisa dilupakan dalam sejarah Indonesia adalah Njio Tjoen Ean dari Ambon.
JALAN NJIO TJOEN EAN
Sejak awal Kota Ambon dibangun, sudah ada Chinese Wijk alias Pecinaan yang bertahan sampai sekarang. Kini di sana ada satu lorong terkenal yakni Lorong Arab. Banyak orang Ambon keturunan Arab bermukim di lorong ini.
Orang Ambon keturunan Tionghoa dan keturunan Arab hidup berdampingan secara damai di Chinese Wijk. Mereka menempuh hari-hari sejarah zaman Portugis, Belanda, Jepang, sampai Indonesia merdeka. Mereka saling mendukung dalam bisnis, sewa-menyewa tanah, gedung, dan hubungan sosial. Tidak sedikit warga Tionghoa juga menjadi pemeluk Islam, sampai sekarang, dan semua baik-baik saja.
Sebelum bernama Lorong Arab, pada masa lalu, Lorong Arab bernama Jalan Njio Tjoen Ean. Orang Belanda maupun orang Ambon sangat menghormati sosok dari trah Njio yang lumayan banyak di Ambon.
Pendeta Bambang Jonan (foto crts Elwan di Matteo) |
Nah, siapa sesungguhnya Njio Tjoen Ean sampai diabadikan sebagai nama jalan? Ia memang dikenang dalam sejarah di Nusantara, tetapi asing di tanah kelahirannya sendiri Ambon Manise.
Sejumlah literatur Belanda maupun Indonesia menyebutkan Tjoen Ean sebagai sosok penting dalam pertumbuhan agama Confuchu di Indonesia. Selain itu, dia diketegorikan sebagai sosok perintis dalam perkembangan sastra dan Bahasa Melayu.
Tjoen Ean lahir di Ambon, 15 Juli 1860 dan wafat 15 Agustus 1925, dalam usia 65 tahun. Ia dimakamkan di Pekuburan Tionghoa, Benteng Atas, Ambon.
Ayahnya Njio Tjang Tjoan, seorang kapiten Tionghoa yang diperkirakan lahir tahun 1795 dan meninggal dunia 1855. Tidak ada keterangan mengenai ibunya.
Tjoen Ean menikah dengan Lie Tjong Nio, dan mempunyai anak semata wayang William Thomas Herbert Tjien Hie Njio. Sang istri Tjong Nio lahir 1 Juni 1860 dan meninggal dunia 9 Desember 1920 di Ambon, dalam usia 60 tahun.
William lahir di Ambon 4 Mei 1898, dan meninggal 18 September 1971 di Jakarta dalam usia 73 tahun. William menikah dengan Tjoeng Siang Nio, dan mempunyai anak-anak bernama Lena Iskandar; Elly (Njio) Jonan; Jack E. Jonan (Njio Tiang Kie); Bob Jonan; Rudi Jonan; dan Teddy Jonan.
Tjoeng Siang Nio lahir di Muntok, Bangka, 8 Februari 1903. Semua anaknya juga lahir di sana, kecuali Teddy Jonan yang lahir di Jakarta tahun 1944 dan meninggal di Salatiga tahun 2011.
Teddy Jonan dan saudara-saudaranya sudah meninggal, namun keturunan mereka saat ini tersebar di beberapa kota di Indonesia, seperti di Jakarta, Bali, Medan, dan sebagainya.
Media Online Maluku Post mengontak keturunan Njio Tjoen Ean yakni Spencer Jonan di Bali dan Cindy Devina di Jakarta. Melalui mereka, beberapa informasi mengenai sosok Tjoen Ean bisa didapat.
``Saya belum pernah ke Ambon, tetapi kakak saya Pendeta Bambang Jonan pernah ke Ambon,`` kata Spencer Jonan yang bermukim di Bali, saat dihubungi Selasa (29/1) malam.
Pendeta Bambang Jonan boleh dibilang pendeta senior yang populer. Khotbah°khotbahnya banyak disiarkan di Youtube. Ia menjadi Pendeta GBI di Medan.
Menurut Spencer, kakaknya itu pernah ke Ambon dan sempat berziarah ke makam leluhur Tjoen Ean di TPU Benteng Atas. Pendeta Bambang juga pernah berkhotbah di Gereja Rock OSM Ambon.
Dalam Buku Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. |
Dalam genealogi keluarga Njio Tjoen Ean, dapat dibaca sekilas kisah yang dikutip dari buku Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia. Buku tersebut ditulis oleh Lay Dju Chung (Sam Setyautama), diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan Chen Xingchu Foundation, cetakan 2008.
Tjoen Ean mengikuti jejak ayahnya Njio Tjang Tjoan sebagai Kapiten Tionghoa (1856-1891). Saat itu, marga Njio banyak menjadi kapiten. Tidak heran, Tjoen Ean kemudian menjadi letnan (1891), kapiten (1907), lantas mayor (1918).
Meskipun berpendidikan Belanda, Tjoen Ean sangat berminat terhadap kebudayaan dan filsafat Tionghoa. Dari sini, dia mulai menerjemahkan buku-buku Tionghoa ke Bahasa Melayu.
Buku-buku klasik Tionghoa yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, dilakukan hampir bersamaan waktu dengan kegiatan serupa di Batavia oleh Lie Kim Hok. Apa yang dilakukan di Ambon, ternyata tiga tahun lebih dulu ketimbang Tan Ging Tiong dan Joe Tjai Siang di Jawa. Atas dasar itulah, Ia disebut sebagai penerjemah pertama karya-karya klasik Khonghucu ke dalam Bahasa Melayu.
Sejumlah buku yang diterbitkannya antara lain Taij Hak (Ambon, 1897), Siang Loen (Hak Djie) Bahagean jang Pertama dari Kitab-kitab Soetji, Tiong Iong ataoe Kitab jang Kadoewah deripada Kitab-kitab Soetji, Loen Gie ataoe Kitab jang Katiga deripada Kitab-kitab Soetji, Ampat Kitab-kitab deripada Ilmoe Hikmad jang Sanoenoh (Ambon, 1898), Soe Sie Pek Boen ataoe Ampat Kitab-kitab dari anak-anak moerid Soe Sie Pek Boen (Ambon, 1899).
Bagaimana bisa Tjoen Ean bisa menerbitkan buku-bukunya dari Ambon? Hal ini tidak lepas dari peran L.H.M. Thorig, seorang pengusaha keturunan Belanda-Jerman, pemilik percetakan dan penerbit bernama Ambonsche Drukkerij.
Thorig rupanya berpindah tempat tinggal dari Ambon ke Malaysia. Sebab itu, dia menjual mesin cetak kepada pengusaha keturunan Tionghoa bernama Ong Kie Hong.
Ong Kie Hong adalah konglomerat yang punya minat pada dunia penerbitan surat kabar dan buku. Kie Hong beristri perempuan dari marga Njio, yakni Njio Kiok Nio. Sebab itu, Tjoen Ean dan Kie Hong saling mendukung dalam penerbitan buku.
Sekolah Tionghoa Pak Tik Hak Tong di Ambon (mhm) |
Selain pada bidang sastra, bahasa, agama, dan kebudayaan, Tjoen Ean juga dicatat sebagai salah satu pendiri Sekolah Tionghoa Pai Tek Hak Tong di Ambon tahun 1903.
Sekolah Pai Tek Hak Tong bertahan cukup lama, sejak berdiri sampai tahun 1965. Gedung dan lahan belas sekolah tersebut di Jalan AY Patty kini sudah digunakan sebagai Gedung Perpustakaan Wilayah Provinsi Maluku.
Njio Tjoen Ean adalah sebuah sejarah. Ia lahir, wafat, dan tidur di Tanah Ambon. Jejak yang dia tinggalkan bisa saja terhapus dari memori, andai tidak ada upaya sadar untuk mengenangnya secara abadi.
Beristirahatlah dalam damai di badan Gunung Nona, Opa Tjoen Ean. Dikau telah menjadi Tanah Ambon. (Rudi Fofid/dari berbagai sumber/foto geni.com & museum sejarah maluku MHM).
No comments:
Post a Comment