Mantan Dirut Garuda, Satar dirundung hukum |
Jakarta, Info Breaking News - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah, menyatakan bahwa KPK akan terus melakukan penyidikan dengan mencari bukti atas dugaan kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat Airbus dari Rolls-Royce Plc, yang melibatkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (persero) Tbk Emirsyah Satar.
Bahkan KPK tidak akan terpengaruh dan mengkhawatirkan gugatan keperdataan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk terhadap Rolls Royce Plc selaku tergugat I dan Rolls Royce Total Care Service Limited sebagai tergugat II ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Fenomena hukum itu menarik untuk dikaji karena gugatan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk dilakukan pada saat KPK sedang menyidik dan mengumpulkan bukti-bukti untuk memprosesnya dalam sistem peradilan pidana. Lebih menariknya lagi justru ketika PT Garuda Indonesia (persero) Tbk menjadikan bukti-bukti awal yang dimiliki KPK dalam proses pidana sebagai salah satu dasar untuk melakukan gugatan perdata.
Gugatan perdata
Berdasarkan laporan keuangan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk tercatat adanya sejumlah kerja sama dengan Rolls Royce. Pada Oktober 2008 dan Juni 2010, PT Garuda Indonesia (persero) Tbk mengadakan perjanjian perawatan mesin Trent 772B, sebagaimana yang tertuang dalam Total Care Services Agreement Relating to Trent 772B Engine DEG 6160.
Pun pada Juli 2012, PT Garuda Indonesia (persero) Tbk dan Rolls Royce menandatangani Amendment Nomor 1 to Agreement for The Trent 700 Engine Powered Airbus A330-300 Aircraft DEG 5496, terkait penyesuaian tarif perawatan mesin.
Untuk memperpanjang periode perjanjian, selanjutnya pada 2015, PT Garuda Indonesia (persero) Tbk dan Rolls Royce menandatangani Amendment Nomor 3 to Agreement for The Trent 700 Engine Powered Airbus A330-300 Aircraft DEG 5496. Pun dilanjutkan pada Juni 2016, terkait perawatan mesin dengan konsep total care untuk mesin tipe Trent 7000, serta benefit atas pembelian 14 unit pesawat A330 NEO.
Pada 22 Desember 2007, PT Garuda Indonesia (persero) Tbk menerima offering letter terkait dengan Total Care Service Agreement DEG 5496, yang telah habis masa kontraknya pada September 2017 sebagai perbaikan atas 6 mesin masih akan dikover sampai tahun 2023.
PT Garuda Indonesia (persero) Tbk mengajukan gugatan kepada Rolls Royce di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang terdaftar sejak tanggal 13 September 2018 dengan register 507/Pdt.G/2018/PN Jkt.Pst. Pada pokoknya, gugatan PT Garuda Indonesia (persero) Tbk menyatakan bahwa contract reference DEG 5496 Nomor: DS/PERJ/DE-3236/2008 tertanggal 29 Oktober 2008 tentang perjanjian Total Care TM Agreement for the Trent 700 Engine Powered Airbus A330-300 Aircraft adalah batal karena perbuatan curang oleh Rolls Royce.
Oleh karena itu, PT Garuda Indonesia (persero) Tbk meminta pengadilan untuk menghukum para tergugat membayar secara tanggung renteng ganti rugi atas kerugian yang diderita penggugat sebesar Rp 640,94 miliar.
Titik singgung proses pidana dan gugatan keperdataan
Sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), setidaknya terdapat 2 syarat yang harus dipenuhi untuk menentukan sahnya suatu perjanjian. Pertama, syarat subjektif yang berkenaan dengan para pihak yang melakukan perjanjian, yang terdiri atas dua unsur. Pertama, kesepakatan dari mereka untuk mengikatkan diri dan kedua, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
Kesepakatan (toestemming) yang timbul di antara para pihak haruslah sesuai dengan keinginan dan kehendaknya masing-masing tanpa adanya kekhilafan, paksaan, ataupun penipuan. Adapun kecakapan, menyangkut kewenangan orang untuk melakukan perbuatan dan tindakan hukum, baik untuk bertindak atas namanya sendiri, bertindak selaku kuasa pihak lain, maupun bertindak dalam kapasitasnya sebagai wali atau wakil dari pihak lain.
Dalam hal tidak terpenuhinya salah satu unsur dari syarat subjektif itu, suatu perjanjian dapat dibatalkan. Ini berarti bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya tersebut.
Kedua, syarat objektif yang berkenaan dengan objek ataupun substansi suatu perjanjian, yakni suatu perjanjian itu harus mengenai suatu hal atau objek tertentu dan suatu sebab yang halal. Ini berarti objek perjanjian harus jelas atau setidak-tidaknya dapat dipastikan jumlah dan jenisnya sehingga dapat mencegah terjadinya perjanjian fiktif dan memberikan jaminan kepada para pihak yang membuat perjanjian.
Suatu sebab yang halal mensyaratkan bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.
Apabila salah satu unsur dari kedua syarat objektif itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Dalam hal ini, suatu perjanjian yang sejak awal dianggap tidak pernah ada dan dengan sendirinya tidak mengikat para pihak.
Dengan mencermati syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata, apakah perbuatan curang (fraud) berupa penyuapan yang dilakukan Rolls Royce dapat dijadikan alasan oleh PT Garuda Indonesia (persero) Tbk untuk membatalkan suatu perjanjian? Apakah perbuatan curang yang diperoleh dalam suatu proses pidana dapat dijadikan dasar dalam mengajukan gugatan keperdataan untuk membatalkan suatu perjanjian? Apakah perbuatan curang (fraud) yang dipersangkakan dalam proses pidana dapat dikategorikan sebagai penipuan, yang menjadi salah satu alasan untuk pembatalan perjanjian?
Salah satu asas terpenting dalam hukum acara perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 163 HIR, yaitu siapa yang mendalilkan, dia harus membuktikannya. Hal yang harus dibuktikan ialah kejadian atau hal yang belum jelas atau yang menjadi sengketa dan juga relevan dengan pokok perkara, sedangkan tentang hukumnya akan ditetapkan oleh hakim sehingga tidak perlu untuk dibuktikan para pihak yang mendalilkan.
Bertolak dari pemahaman sedemikian, kecurangan yang dilakukan Rolls Royce tidak harus dipersangkakan terlebih dahulu dalam proses pidana, tetapi harus dibuktikan oleh PT Garuda Indonesia (persero) Tbk sebagai penggugat. Itu pun apabila fraud dapat diidentikkan dengan penipuan, yang menjadi salah satu alasan untuk pembatalan suatu perjanjian. Hal ini disebabkan ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata menyebutkan, "Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa sehingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut."
Berdasarkan pengalaman empiris selama ini, penulis melihat tidak adanya titik singgung secara langsung antara proses pidana dengan proses perdata. Dalam hal ini, tidak pernah ada suatu putusan majelis hakim dalam perkara perdata secara serta merta menjadi putusan hakim dalam perkara pidana, begitu pula sebaliknya.
Bukti-bukti yang diperoleh ataupun putusan hakim dalam proses pidana hanya dijadikan salah satu bahan pertimbangan oleh hakim dalam memutus suatu perkara perdata dengan terlebih dahulu melihat fakta-fakta dan bukti yang diajukan dalam proses persidangan.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa sikap KPK yang tidak akan terpengaruh gugatan keperdataan PT Garuda Indonesia (persero) dan akan tetap melakukan penyidikan atas dugaan kasus suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat Airbus dari Rolls-Royce Plc, menjadi relevan dan sesuai dengan realitas praktik penegakan hukum selama ini di Tanah Air.
Terlebih lagi dengan tindakan KPK yang telah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset milik tersangka Emirsyah Satar yang berada di luar negeri, melalui Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura dan Serious Fraud Office (SFO) Inggris.
Deferred prosecution agreement
Sebagaimana diketahui bahwa Pengadilan Soutwark Inggris telah mewajibkan kepada Rolls Royce untuk membayar denda sebesar 671 juta pound sterling atau sekitar Rp11 triliun. Kewajiban denda terkait kasus suap Rolls Royce yang diputuskan Hakim Sir Brian Leveson itu melalui mekanisme Deferred Prosecution Agreement (DPA) atau Perjanjian Penangguhan Penuntutan, yakni SFO selaku applicant dan Rolls-Royce selaku respondent.
Dalam sistem hukum Inggris, DPA mulai diperkenalkan sejak 24 Februari 2014, merupakan kesepakatan yang dicapai antara jaksa dan korporasi yang dituntut, yang pelaksanaannya di bawah pengawasan hakim.
Menurut schedule 17 Crime and Courts Act 2013, DPA tidak bisa diterapkan terhadap individu, tetapi hanya terhadap perusahaan/organisasi yang melakukan tindak pidana penipuan, penyuapan, maupun tindak pidana ekonomi lainnya.
Di Amerika Serikat, DPA dan Non-Prosecutorial Agreements (NPA) atau Perjanjian untuk tidak Menuntut biasa dikenal dengan Pretrial Diversion Agreement telah berkembang secara masif. DPA/NPA merupakan standar baru, yang telah mengubah cara pandang Jaksa Federal di Amerika dalam penyelesaian perkara yang melibatkan korporasi.
Para pejabat di Departemen Kehakiman Amerika mempercayai bahwa cara paling efektif untuk menegakan hukum di bidang korporasi ialah dengan mereformasi sistem secara menyeluruh melalui pembangunan tata kelola dan kepatuhan perusahaan daripada menuntut dan menjatuhkan pidana. Dalam hal ini, Peter Spivack dan Sujit Raman menyebut Kejaksaan Amerika Serikat telah menjadi the new regulators, yang membentuk peran baru bagi diri mereka dalam kebijakan pengawasan terhadap perusahaan-perusahaan (Peter Spivack & Sujit Raman; 2008).
DPA/NPA dilakukan oleh jaksa apabila korporasi bersedia untuk memenuhi persyaratan dan ketentuan dalam perjanjian, seperti melakukan reformasi internal, bersikap kooperatif untuk mengungkap keterlibatan karyawan, patuh terhadap pengawasan jaksa dan membayar ganti rugi kepada negara. Namun, apabila korporasi tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, jaksa akan melanjutkan proses pidana terhadap korporasi.
Dalam beberapa kasus, mekanisme DPA/NPA telah berhasil merestrukturisasi manajemen dan secara sukarela melakukan reformasi secara meluas untuk menghindarkan pelanggaran hukum di masa yang akan datang. Sebaliknya, dengan penuntutan secara konvensional oleh Jaksa Federal dalam kejahatan keuangan yang melibatkan korporasi, justru menjadikan perusahaan raksasa akuntansi Arthur Andersen harus gulung tikar dan puluhan ribu orang kehilangan pekerjaannya.
Integrasi proses hukum
Satu poin yang perlu digarisbawahi bahwa mekanisme DPA/NPA merupakan suatu proses hukum yang mengintegrasikan antara pendekatan follow the suspect, follow the money, dan follow the asset.
Ketika korporasi yang melakukan pelanggaran tidak menepati perjanjian untuk menyetorkan uang ataupun aset kepada negara sebagaimana yang ditentukan dalam DPA/NPA, aparat penegak hukum dengan serta merta melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Prinsip utama dari mekanisme DPA/NPA terletak pada sejauh mana pengembalian aset dan pemasukan keuangan negara dapat dilakukan dalam suatu proses hukum.
Di samping itu, DPA/NPA juga lebih mengutamakan perbaikan tata kelola perusahaan melalui serangkaian reformasi secara menyeluruh sehingga dapat menjaga keberlangsungan perusahaan dalam melakukan aktivitasnya sesuai dengan etika bisnis dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kebijakan DPA/NPA juga memperhatikan efek domino yang mungkin timbul apabila perusahaan tidak dapat lagi menghidupi karyawan ataupun memberikan kontribusi terhadap negara dan kesejahteraan masyarakat.
Poin penting lainnya yang dapat dicatat, yakni DPA/NPA mampu mengintegrasikan mekanisme proses hukum pidana dan keperdataan dalam suatu bingkai yang saling mengisi dan melengkapi. Tidak mempertentangkan antara satu dan lainnya, tetapi sebagai solusi ketika terjadinya pertentangan kepentingan, perbedaan paham, terjadinya konflik dan pelanggaran hukum, yang kesemua itu diselesaikan melalui pendekatan restoratif, korektif, dan rehabilitatif.*** Mil.
No comments:
Post a Comment