Situasi bangsa Indonesia akhir-akhir ini mengalami “guncangan demokrasi”. Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat, tentunya harus siap jika mengalami berbagai macam perbedaan. Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di Gedung Kanzuz Shalawat Pekalongan (8/1/2017) mengakui bahwa bangsa Indonesia memiliki lebih 700 suku, lebih 1100 bahasa lokal, 34 Provinsi dan 516 Kabupaten/Kota. Maka perbedaan itu anugerah yang harus disatukan.
Munculnya gerakan bawah tanah yang melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa pasti dipicu oleh kepentingan banyak pihak. Indonesia yang sudah dewasa melakukan proses demokrasi, sengaja diuji secara sistematis. Disinilah tantangan ideologis itu hadir. Oleh sebab itu, dibutuhkan benteng pertahanan yang kuat dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu dengan meneguhkan kembali Pancasila.
Pancasila yang selama ini dibaca setiap upacara dan dijadikan dasar negara serta pandangan hidup masih belum dihayati dengan baik. Termasuk masih kurangnya perhatian terhadap sejarah Pancasila dalam kaitannya untuk mempersatukan bangsa Indonesia.
Pancasila lahir dari kerja tim Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sejak 29 April 1945 yang didirikan Jepang. Sejak itu Mr Muhammad Yamin menyampaikan pidato gagasan lima dasar negara: peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Kemudian Mr Yamin membuat usulan tertulis lima asas negara: ketuhanan yang Maha Esa, kebangsaan persatuan Indonesia, rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaaan dalam permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Bung Karno pada 1 Juni 1945 juga menyampaikan pidatonya dalam sidang BPUPKI dengan rumusan: kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial dan ketuhanan yang berkebudayaan. Perjalanan panjang merumuskan Pancasila melewati rapat tim sembilan pada 22 Juni 1945 yang menyepakati Piagam Jakarta, yaitu: ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaaan dalam permusyawaratan/perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Setelah melalui diskusi panjang, Piagam Jakarta dicabut untuk pasal pertama disepakati dengan: ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan pasal lainnya tetap sama. Ini menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia menghargai perbedaan agama sebagai bagian yang paling penting sehingga ditempatkan nomor urut pertama dalam Pancasila.
Tonggak Sejarah Nusantara
Setelah memahami proses perumusan Pancasila, perlu kiranya menarik kembali sejarah panjang Nusantara sejak abad VII dengan berdirinya Kerajaan Sriwijaya, abad XIII adanya Kerajaan Majapahit dan abad XV tentang Walisongo serta kerajaan Demak menjadi tonggak sejarah penting.
Dalam tonggak sejarah bangsa ini, Prof Darji Darmodiharjo (1972) menyebutkan bahwa sejak jaman Majapahit sudah menguraikan unsur musyawarah dan tata hubungan dengan negara tetangga seperti ditulis Mpu Tantular dalamNagarakartagama. Mpu Tantular dalam Sutasoma juga melukiskan kehidupan agama, Hindu dan Buda yang berdampingan dengan sikap toleransi. Maka inspirasi itu yang melahirkan Pancasila sebagai pengikat persatuan bangsa.
Kurang lengkap jika membicarakan Sriwijaya dan Majapahit jika tidak menyinggung Walisongo. Karena tokoh penyebar Islam yang kemudian mendirikan Kerajaan Demak ini turut serta dalam menjaga toleransi di bumi Nusantara. Sebab tokoh-tokoh Walisongo: Syaikh Jumadal Kubro, Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Ampel melakukan komunikasi baik dengan Sriwijaya dan Majapahit.
Jika Sriwijaya dan Majapahit menjadi inspirasi lahirnya Pancasila, apakah Walisongo juga memberikan inspirasi terhadap nilai-nilai Pancasila? Benar. Walisongo juga memberikan inspirasi dalam menjalankan amanat hidup bangsa Indonesia yang mengenal lima dasar hidup berbangsa dan bernegara. Dari para Walisongo, lahir pejuang-pejuang Islam di Nusantara yang mengedepankan hidup beragama secara toleran, menegakkan kemananusiaan, cinta persatuan, biasa bermusyawarah dan menegakkan keadilan sosial. Maka pesan Pancasila secara implisit terkandung makna dalam ajaran Walisongo.
Secara praktis, bahwa ajaran-ajaran yang ditinggalkan oleh Walisongo juga menunjukkan cara hidup secara damai dan toleran. Bahkan dengan umat agama lain, Islam yang ditinggalkan Walisongo dicatat sangat menghargai perbedaan agama. Hal ini dipengaruhi masih ada kekerabatan antara Sriwijaya dan Majapahit dengan Demak. Sultan Demak adalah anak kandung Raja Majapahit dan Sunan Ampel adalah keponakan Ratu Majapahit, Dwarawati. Maka sikap para Walisongo yang sangat toleran soal perbedaan agama sudah ditunjukkan sejak abad XV.
Ajaran ketuhanan yang Maha Esa dijalankan oleh Walisongo dengan menguatkan hidup beragama secara universal. Islam yang dipeluk oleh Walisongo tidak kaku, tapi dapat menyatu dengan kearifan lokal. Maka Sunan Ampel mengajarkan moh limo: moh main (tidak berjudi), moh ngombe(tidak mabuk), moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak menghisap candu/ganja), moh madon (tidak berzina). Ajaran ini menguatkan nilai agama secara universal. Termasuk Walisongo seperti Sunan Kudus mengajarkan menghormati umat Hindu dengan cara melarang menyembelih sapi.
Ajaran Sunan Drajat yang ditinggalkan juga sangat menginspirasi hidup berpancasila: menehono teken marang wong wutho (memberi tongkat pada orang buta), menehono mangan marang wong kang luwe (memberi makan orang yang kelaparan),menehono busono marang wong kang wudo (memberikan pakaian pada orang yang telanjang) dan menehono ngiyup marang wong kang kudanan(memberikan tempat berteduh pada orang yang kehujanan).
Dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, Sunan Ampel sangat konsisten mengawalnya. Ketika Raden Patah meminta restu menyerang Majapahit, maka Sunan Ampel tegas melarangnya. Karena persatuan dan kesatuan itu penting. Tapi jika marwah kerajaan diganggu, maka bela negara itu penting sebagaimana yang dilakukan Adipati Unus menyerang Portugis di Melaka.
Jalur musyawarah secara demokratis juga ditunjukkan oleh Walisongo saat membentuk Dewan Wali dan Kerajaan Demak. Semua Walisongo berkumpul untuk musyarawarah menentukan Raja, membangun masjid dan menentukan seni wayang sebagai media dakwah. Termasuk konsistensi Walisongo dalam menegakkan keadilan dapat dilihat dalam sidang Syaikh Siti Jenar.
Intinya bahwa ajaran Walisongo sangat tepat dijalankan inspirasi dalam memperkuat nilai Pancasila yang kian hari mulai pudar. Walisongo mengajarkan cara berislam dengan visi perdamaian, bukan Islam yang bermusuhan. Walisongo melatih hidup berterus terang, bukan hidup berperang.
M. Rikza Chamami
Dosen UIN Walisongo dan Peneliti Aliansi Kebangsaan #jurnalislamterkini
Demikianlah Artikel Pesan Pancasila Era Walisongo
Sekianlah artikel Pesan Pancasila Era Walisongo kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Sumber : jurnalislamterkini.blogspot.co.id