“Belajarlah seperti melukis di atas batu, jangan belajar seperti melukis diatas air”.
MusliModerat.net - KH. Dimyati atau dikenal dengan panggilan Mbah Dim adalah salah satu seorang ulama sekaligus wali yang berasal dari Kabupaten Blitar, tepatnya lahir di Dusun Baran, di Desa Ploso, Kecamatan Selopuro, Kabupten Blitar. Beliau lahir pada Jum’at Pahing 1921 M, dan beliau wafat pada tahun 1409 H.
Mbah Dim berasal dari keturunan yang ‘alim, dan zuhud. Sehingga sejak masa kecilnya sudah begitu mencerminkan sosok yang berbeda dari teman-temannya yang lain. Sejak kecil beliau dikenal sangat pendiam dan gemar menyendiri, dan cerita terkenal dengan keistiqomahan Dimyati muda adalah sejak masih sekolah (baca: SR) tidak pernah melepaskan kopyah serta rajin mengaji kepada ayahnya sendiri yakni Kiai Hasbulloh. Menurut cerita, Kiai Hasbulloh pernah membelah sebuah semangka dan berkata, “diantara anak-anakku ada salah satu yang kelak dapat membelah pintu langit”; yang dimaksud adalah Kiai Dimyati.
Ngansu Kaweruh di Lirboyo
Setelah menamatkan sekolah SR, Kiai Dimyati melanjutkan perjalanannya spiritual dan intelektualnya di Pondok Pesantren Lirboyo asuhan Mbah Kiai Abdul Karim yang terkenal ‘allamah (sangat ‘alim) dan tawadhu’. Kedatangan Dimyati muda waktu itu menjadi pelipur lara bagi Sang Kiai, karena putra kesayangannya bernama Gus Nawawi wafat di tanah suci Makkah.
Selama kurang lebih sebelas tahun Kiai Dimyati ngansu kaweruh di Lirboyo. Selama di pesantren, Kiai Dimyati terkenal rajin dan istiqomah dalam mengaji baik al-Qur’an maupun kitab kuning. Selain itu, ia dikenal istiqomah dalam menjalankan setiap amaliyah yang diberikan oleh gurunya, Mbah Kiai Abdul Karim. Menurut cerita, Kiai Dimyati begitu betah membaca wirid dibelakang Mbah Karim, serta selalu menunggu kiai menyelesaikan wiridnya. Setiap pagi beliau sudah siap menata gamparan dan menyalakan lampu, sambil menunggu Mbah Karim keluar dan mengantar ke masjid, sampai pulang ke ndalem lagi, sekitar pukul 08.00 pagi.
Kiai Mahurin Grompol Prambon Nganjuk menceritakan, Mbah Dim seringkali tiba-tiba datang memberi makanan dengan lauk-pauk lengkap yang tidak mungkin ada di waktu malam. Menurut cerita Mbah Imam Hanafi Kaniten Mojo, ketika Kiai Dimyati menerima kiriman dari orang tuanya, ia langsung memasak semua dan mengajak teman-temannya makan bersama. Setelah itu Kiai Dimyati tidak makan setelah beberapa hari, hanya mencukupkan dengan minum air.
Setelah dari Lirboyo, Kiai Dim menikah dengan seorang gadis dari Desa Batokan bernama Rufi’ah Mondo. Saat pernikahan pertamanya beliau dikaruniai seorang putra yang bernama Mahfud. Selang beberapa tahun kemudian, Kiai Dimyati menikah dengan Munawarah, dan dikaruniai empat putri yaitu Lailatul Badriyah, Nqatiqulloh, Umi Mukarromah, dan Barroh. Ketiga putri Kiai Dimyati dengan Ibu Nyai Munawwarah meninggal lebih dulu, kecuali Umi Mukarromah. Tidak ada keterangan lebih lengkap mengenai alasan Kiai Dimyati menikah untuk kedua kalinya setalah Ibu Nyai Rufi’ah Mondo.
Mengabdi di Masyarakat
Setelah setelah sekian lama ngansu kaweruh menimba ilmu di Lirboyo, Kiai Dimyati kembali ke kampong halamannya di Blitar dan mengabdi kepada ayahnya di pondok yang diasuhnya. Mengawali pengabdiannya dengan mengajar sekolah diniyah dan mengajar mengaji al-Qur’an serta beberapa kitab. Diceritakan bahwa ketika Kiai Dimyati mengajar santri-santrinya, sangat berbeda dengan para ustadz yang lain dalam cara pengajarannya. Kiai Dimyati mengajar tidak dengan metode memaknai kitab kemudian diterangkan, melainkan dengan menggunakan metode ruhaniyah atau metafisik, yaitu dengan isyarat-isyarat.
Seorang santri bernama Nafisah menceritakan setiap akan ganti pasal (bab) dalam pelajaran maka berbeda ujiannya. Nafisah saat itu disuruh pergi sendiri di sebuah kolam yang sepi dan sunyi. Di sana Nafisah diminta untuk merenungkan (baca: kholwat/uzlah) akan hidupnya selama ini. Apabila sudah dinyatakan lulus dari ujian tersebut, maka yang bersangkutan dianggap memahami pasal (bab) yang diajarkan, kemudian dapat melanjutkan ke pasal-pasal berikutnya.
Hingga saat ini, banyak satri-santri Kiai Dimyati tetap menjalankan amaliyah yang diajarkan. Walaupun Mbah Dim telah wafat, para santri merasa tetap disowani ke rumahnya masing-masing seakan-akan ia masih hidup.
Kisah lain mengenai karomahnya, pernah suatu ketika Kiai Dim menunjukkan perbedaan antara perbuatan syirik atau bukan, dengan mengajak para santri ke sebuah makam auliya’ dan menunjukkan mana yang dikatakan perbuatan syirik dan perbuatan bukan syirik. Namun hal itu bisa terjadi apabila santri dapat menjalankan amaliyah ijazah yang diberikan dengan khusyuk.
Pernah suatu ketika saat keponakan Kiai Dim yang bernama Kiai Ayub Ismail akan meninggal, Kiai Dim mendatangi Ibu Nafisah untuk memasakkan ingkung kemudian meminta Ibu Nafisah memberikan ke dalemnya Kiai Ayub. Ibu Nafisah berpikir, ada isyarat apa dengan ini? Hal itu pun terjawab pada malam harinya ketika Kiai Ayub meninggal dunia. Makna dari ayam ingkung itu seperti keadaan orang yang meninggal.
Cerita lain ketika Kiai Dimyati menemukan sebuah bom di Bandar lalu dibawalah ke kamar pondok, tiba-tiba bom tersebut meledak dan kamarnya hancur berantakan, tetapi Kiai Dimyati selamat dari ledakan.
Sepulang dari pondok, beliau membawa buah semangka. Ayahnya Kyai Hasbulloan kepada heran, kenapa pulang dari pondok dengan membawa semangka? dan Kiai Dim kemudian memberikan pertanyaan kepada ayahnya, “Abah! coba tebak apakah semangka ini ada isinya atau tidak?” Kiai Hasbulloh pun tak dapat menebak dan menjawab pertanyaan dari putranya tersebut. Kemudian Kiai Hasbulloh membelah semangka tersebut, ternyata tidak ada isinya. Kiai Hasbulloh kemudian berkata bahwa dari sekian banyak anakku yang dapat membuka pintunya langit hanyalah Dimyati.
Kehidupan Sehari-Hari
Semasa Mbah Dim masih hidup dan bertempat tinggal di Desa Baran, beliau sangatlah diseganai oleh masyarakat, karena hidup beliau telah di dramabaktikan kepada semua lapisan masyarakat tanpa memandang bulu. Hebatnya lagi ada wasilah kepada Mbah Dim akan mulai berhasil, cepat atau lambat. Setiap harinya tidak dari seratus orang yang datang dan sowan untuk meminta barokah dan ijazah.
Beliau sangat condong dengan ilmu agama. Beliau sangat senang sekali kalau ada anak mondok, kemudian beliau berbaur dengan santri-santri yang ngaji weton. Dan beliau mendalami ilmu agama sejak kecil kepada ayahnya KH. Hasbulloh, kemudian tak hanya samapai disitu, beliau melanjutkan nyantri di Lirboyo, dan perjuangan dalam mendalami ilmu agama tetep beliau istiqomahkan walaupun sudah lulus dari pondok pesantren.
Beliau begitu Zuhud, beliau begitu meninggalkan kemewahan dunia. hari-hari beliau hanya digunakan untuk mengabdikan diri pada Allah SWT. Dimanapun, kapanpun, dengan siapapun hati dan pikirannya hanya tertaut pada Allah SWT, karena bagi beliau kahidupan dunia adalah kehidupan yang fana. Sifat zuhud beliau mulai terlihat saat beliau sekolah SR. padahal kalau beliau ingin hidup menjadi orang yang kaya, beliau bisa menjadi orang terkaya.
Mbah Dim, gemar juga menanam pohon sendiri, seperti menanan pohon jambu dan pohon sirkaya. Karena bagi beliau selain itu merupakan sebuah hobi menanam pohon buah-buahan sangat bermanfaat, dan dapat menahan diri dari hal-hal yang menimbulkan mudharat, hal-hal yang dapat menyeretnya menuju hal-hal yang haram dan syubhat. Sebab, siapa yang takut kepada hal yang syubhat, maka dia telah membebaskan kehormatan dan agamanya, dan barang siapa yang berada dalam syubhat berarti dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala di sekitar tanaman yang dijaga, yang begitu cepat ia masuk kedalamnya. Begitulah wujud sifat wira’i yang dimiliki Mbah Dim.
Beliau juga sangat ikhlas, sabar dan tawadhu’, serta santun. Setiap beliau sowan ke Lirboyo, ketika diberi jamuan makan, maka beliau sendiri yang membersihkan meja dan kemudian diletakkan kebalakang dan dicuci sendiri. beliau tidak senang apabila ada orang yang memuji dan beliaupun sukar untuk dikhidmati.
Pada suatu hari ada orang yang bertanya tentang bagaimana cara memperingatai maulid Nabi Muhammad SAW, apakah dengan pengajian, atau membaca al-Qur’an, atau membaca sholawat barzanji atau diba’, dan jawaban beliau begitu singkat: “Lalah yang Lillahi Ta’ala”
Beliau senang sekali mendokan orang yang sudah meninggal dan menziarahi kubur. Terutama beliau senang menziarahi makam auliya’ dan guru-guru beliau, dan yang paling penting bagi Mbah Dim adalah menziarohi makam kedua orang tuanya. Apabila setelah ziaroh ke makam kedua orang tuanya, lalu beliau menghampiri makam Mbah Ngiso, salah seorang guru Mbah Dim saat masih sekolah SR. Itulah bukti sifat keta’dhiman Mbah Dim.
Mbah Dim memiliki sifat bashiroh dan ilmu laduni. Beliau mengetahui suatu hal sebelum dijelaskan dan ditanya. Dan jawaban-jawaban beliau itu, bukan menjawab dengan lisan lansung, namun banyak menggunakan isyarat-isyarat sebelum kejadian. Seperti membakar daun pakis aji, pada waktu akan wafatnya Gus Kaffi dari Ponpes Sanan Gondang. Kemudian saat wafatnya Gus Ngatiq, Mbah Dim membuat kuburan kecil. Dan belum lama ini saat wafatnya KH. Ayub Ismail, beliau mendatangi Bu Nyai Nafisah untuk memasakkan ayam ingkung dan sdiantarkan ke ndalemnya KH. Ayub Ismail. Lalu saat ibunya Ny. Hj. Maryam ketika towaf, Ny. Hj. Maryam jatuh, tiba-tiba Mbah Dim menangkap ibunya. Dan ibunya pun heran.
“lho le, kog ono ndek kene?” (Loh Nak, kok ada di sini?)
Padahal saat itu Mbah Dim tidak ikut melaksanakaan ibadah haji bersama ibunya. Tirakat beliau pun, selalu beliau istiqomahkan. Mbah Dim sangat jarang dan sedikit makan dan juga jarang tidur. Namun Mbah Dim tidak banyak menjalankan puasa sunnah.Mbah Dim juga dikenal dengan sosok yang dermawan, gemar bersedekah. Beliau juga tak pernah membuat repot orang lain apalagi sampai menyakiti orang lain. Karena, beliau begitu menghorrmati orang lain.
Mbah Dim sangatlah teliti dan begitu memeperhatikan denagn kebersihan sesuai dengan hukum agama. Beliau selalu rutin mencuci kopyahnya, mencuci sajadah, dan mencuci dipan (ranjang tempat tidur). Beliau tidak bisa melihat ada barang beliau yang kotor sedikitpun, apalagi barang tersebut, barang yang biasa beliau gunakan untuk ibadah.
Bacaan wirid yang selalu beliau amalkan diantaranya adalah mengistiqomahkan memebaca al-Qur’an, membaca kitab Dalail dan membaca Hauqolah (laa haula wa la quwata ila billahil ‘aliyil ‘adzim). Oleh karenanya, Kiai Dimyati selama hidupnya dikenal sebagai kiai yang memiliki karomah yang tinggi. Tak hanya itu, Kiai Dimdikenal sebagai kiai yang sangat dermawan dan pandai merahasiakan sedekah. Serta tidak pernah membuat repot, apalagi menyakiti orang. Dengan kelebihan-kelebihan tersebut, KH Dimyati mendapatkan sebutan sebagai Kiai Pendito. Tak hanya itu, beliau juga gigih dan berani menegakkan kebenaran.
Kiai Dim wafat pada tahun 1989 dalam usia 68 tahun. Sebelum wafat, Mbah Dim berwasiat kepada salah satu putrinya yang masih hidup yaitu Umi Mukarromah, bahwa kalau aku mati, jangan diratapi dan jangan sampai kuburanku dijadikan sandaran.
Sumber : Tasamuh.id
No comments:
Post a Comment